Monday, February 4, 2008

Diskriminasi Media

MENGAPA PRIORITASKAN TVTL...??
By; Julio "Gil" da Silva
Timor leste merupakan sebuah Negara Demokrasi yang baru bebas dari cenkraman kaum Penjajah (Portugal dan Indonesia) selama berabad – abad. Sejumlah bentuk perlawanan dan perjuangan dilakukan oleh rakyat Timor Leste demi sebuah kebebasan yang akhirnya tidak seutuhnya dinikmati oleh rakyat itu sendiri.
Media merupakan salah satu komponen bangsa yang sanggat berperan aktif ketika rakyat dinegri ini mulai memimpikan sebuah kemerdekaan. Dimana ketika masa perjuangan dimulai para diplomator maupun rakyat biasa tidak pernah membeda-bedakan media lokal maupun asing yang ikut memberitakan keganasan yang menimpa rakyat pribumi dalam upaya untuk memerdekaan diri.

Namun ketika Timor Leste merdeka bentuk diskriminasi terhadap media mulai terlihat dan terlebih lagi bentuk – bentuk diskrimansi tersebut dilakukan oleh kaum politikus (partai politik) maupun kelompok – kelompok sosial lainnya. Salah satu bentuk diskriminasi yang dimaksud adalah para penguasa atau mereka yang suka namanya dipaparkan di media lebih menghendaki media visual seperti Televisi atau TVTL (Televisaun Timor Lorosa’e) dibandingkan media Audio dan Cetak yang sebenarnya juga memiliki peran yang sama yakni membeberkan imformasi dan mengankat mereka yang suka diangkat.

Sering sekali para politikos atau NGO ketika hendak melaksanakan sebuah Press Conference atau kegiatan organisasi laiinya, begitu jam yang telah direncanakan sudah tepat dan meskipun seluruh Media baik itu Media Cetak maupun Media elektronik sudah memenuhi deretan kursi yang ada tapi apabila kamera TVTL belum terlihat maka sekalipun acara sudah di ujung tanduk belum tentu akan dimulai “Maluk sira hein oitoan lai ehh .. tamba TVTL seidauk mai” demikian ungkapan kekhawatiran yang sempat dikutip dari sebuah press conference beberapa waktu lalu.
Namun sebaliknya sekalipun belum ada media lain yang muncul apabila camera TVTL telah terlihat maka semuanya tergesa – gesa untuk membereskan meja kursi, rambut serta pakaian dan dengan wajah yang cukup bahagia mereka akan mengatakan “ Bondia ba maluk jornalista sira hotu” sekalipun yang terlihat hanya satu institusi media yang terlihat.

Penulis ingin menguraikan sebuah contoh kecil, sekitar 3 bulan yang lalu, ketika penulis masih bekerja di sebuah media Elektronik (Radio) kala itu seluruh media diundang untuk meliput sebuah press conference di suatu tempat di kota Dili (Aktivitas Partai), dalam undangan tertera jam mulai adalah 10.00 OTL, dan dari pihak redaksi penulis juga mengutus saya untuk meliput kegiatan tersebut.
Ketika tiba di lokasi peliputan sudah sekitar 8 perwakilan media yang sudah berkurumung, beberapa diantaranya sudah dijamu dengan Krupuk dan Aqua sembari duduk di Sofa. Penulispun segera mendatangi kawan – kawan yang lagi asyik sarapan dan bertanya “Seidauk komesa ka?” dan jawab mereka “TVTL seidauk mai, karik minute 5 tan” namun apa yang terjadi bukan 5 menit melainkan 50 menit sudah berlalu dan TVTL pun belum kunjung tiba.
Dan apa yang terjadi press conferencepun belum bisa dimulai sampai TVTL tiba dengan Camera Kecilnya. Dari kejadian diatas dapat dipetik hikmahnya bahwa betapa pentingnya TVTL dengan media – media laiinya.

Pada umumnya aksi semacam ini kalau dimintai pengakuan dari seluruh wartawan pasti mereka semua akan menjawab “ya” sebab mereka mengalaminya. Memang sikap menanti kehadiran media yang lain seperti TVTL memang ada benarnya karena hal ini dilakukan untuk menjaga keadilan dalam pemberitaan media. Sebab banyak kali sejumlah media di Timor Leste memberitakan isi berita yang tidak sama dari kegiatan yang sama. Hanya karena peliputannya tidak serentak atau ada yang mendahului.
Namun juga perlu diketahui bahwa untuk membina sebuah kepercayaan antara Media – Publik, sikap menanti media yang dilakukan baik itu NGO, Pemerintah Atau Partai Politik dikategorikan sebagai upaya mendiskriminasikan media.

Sementara itu disisi yang berlawanan penulis juga ingin menguraikan peristiwa lain yang mengambarkan upaya deskriminasi terhadap media, misalnya ketika adanya kunjungan beberapa tamu kenegaraan ke negri matahari terbit ini, seperti misalnya kunjungan pemain sepakbola asal Portugal Cristiano Ronaldo beberapa bulan lalu, kala itu seluruh media mendapat undangan untuk melakukan peliputan tentang kunjungan Ronaldo.
Kala itu terdapat juga sejumlah media asing seperti RTP yang juga menyertai rombongan tersebut, dimana ketika Ronaldo mendarat di Airoportu Internasional Nicolao Lobato,Dili petugas VIP justru lebih memprioritaskan Media – media asing seperti RTP dibanding media lokal yang juga berkamera seperti TVTL, apalagi wartawan lokal yang hanya bermodalkan tape Recorder atau catatan kecil lainnya jangan harap untuk masuk, sampai sampai terjadi keributan antara wartawan lokal dan Petugas VIP yang di saksikan lansung oleh Ronaldo Sendiri, wahh ternyata VIP juga menyediakan tayangan bioskop tampa sensor alias baku hantam tampa layar? Betul – betul asyik kalau peristiwa ini terjadi di Estadio Municipal atau GMT agar disaksikan seluruh masyarakat Timor Leste dan Dunia.

Perlu disadari bahwa Negara tampa membutuhkan media adalah “MATI” dan seorang Pemimpin misalnya Perdana Mentri tidak akan mungkin menjadi terkenal tampa “MEDIA”, sebab negara kuat apabila media bebas, dan media Kuat apabila rakyat bebas. Untuk itu kepercayaan antara keduanya harus saling membutuhkan dan mendukung. Sebab ujung dari ketidakpercayaan itu sendiri adalah deskriminisi. Sebagai contoh misalnya, beberapa bulan lalu Media Suara Timor Lorosa’e (STL) memuat hasil liputannya tentang situasi kelaparan di Hatubuiliko (STL 7/2/05) namun Pemerintah RDTL melalui Perdana Mentri RDTL Mari’I Alkatiri menyankal berita tersebut bahwa sebenarnya tidak ada kelaparan melainkan kurang Gizi “Mall Nutrisaun”.
Dari situasi ini muncul beberapa polemik hingga diakhiri dengan pemboikotan terhadap STL. Dimana selama beberapa minggu wartawan STL sulit untuk mengakses ke departemen pemerintahan. Sementara media lain diizinkan, nah inilah bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Media. Seharusnya langkah yang pantas dilakukan bukan harus diboikot tetapi diproses secara hukum dengan mempertanyakan bukti tulisan dari wartawan bersangkutan dengan demikian kepercayaan antara kedua pihak untuk mempertanyakan sebuah kebenaran dan akuratnya bisa terjawab.

Berangkat dari analisa analisa diatas penulis ingin memberikan beberapa alternatif agar kiranya dapat diperhatikan bersama dalam menciptakan sebuah kondisi demokratis yang diidamkan semua orang. Pertama segera mengciptakan sebuah undang – undang media agar dapat mengatur kebebasan dan keterbatasan media untuk menjalankan di sebuah negara demokrasi sekaligus menjadi patokan atau pedoman hukum bagi media. Kedua hindari diskriminasi diantara jangan mengemaskan media lain , sebab anda para Politikos, Aktivist atau sejenisnya cepat atau lambat akan diangkat dan dijatuhkan terantung anda memperlakukan media adil diantara yang laiinya (Ingat; demi sebuah Kepercayaan, 1 tidak mungkin mengunguli 1000).
Ketiga para pemimpin partai atau negara kiranya memiliki juru bicara atau Media Officer yang jelas dan membina hubungan yang baik, atau bersahabat, sebab kadang wartawan memburu Perdana Mentri (PM) tapi karena PM tidak memiliki juru bicara yang jelas yang hanya dimiliki adalah pengawal ditambah lagi kacamata – kacamata yang hitam dan menakutkan, maka wartawan akan kewalahan untuk menginterview bahkan foto yang diambil pun wajah Pengawal. Yang terakhir wartawan harus konsisten dan berani mengambil keputusan, konsisten artinya kadang wartawan kita terutama dari media – media yang bagi politikus amat sanggat penting seperti misalnya TVTL sengaja datang terlambat“ahhh paling sira hein ita”. S
ebab hal ini bukan menhambat masyarakat untuk tidak melihat wajah para politikus di TV melainkan sebagai jalan untuk menhindari Discrimination thinking antara media. Berani mengambil keputusan artinya jika anda para wartawan diundang untuk meliput pada jam sekian, namun ketika tiba waktunya belum dimulai apa salahnya anda mengambil keputusan untuk pulang, bukan berarti anda tidak mendapat berita justru berita anda lebih hanggat karena peristiwanya menarik. Serta berani untuk mengankat itu di media anda, bahwa si A atau si B sebenarnya engan berkomentar kalau tidak ada TVTL. Semoga di terima.
Kesan terakhir untuk para politikus bahwa anda bisa menertawakan dan ditertawakan publik hanya karena media untuk itu to be carefully. Untuk anda para wartawan se Timor Leste jadilah Investigator yang baik . Salam

1 comment:

rui said...

setuju...Ayo wartawan Timor-Leste kumpulkan,,Dan desak buat UU Pers agar jasa kita di hargai..Karena bagaimana dalam proses pembangunan neraga manapun.Media sangat berperang penting