Monday, February 4, 2008

DEMO-nstrasi Dalam DEMO-krasi!!! Timor Leste DEMO Apa??

Analisa Akhir Pekan
By; Julio "Gil" da Silva

Sebuah akhir pekan yang menegankan buat warga Timor Leste terutama Kota Dili, dimana ketika fazar menantang di awal pekan (Loron pimeiro semana nian) sebuah gossip lansung melahap jantung warga kota Dili bahwa FNJP (Frente Nasional ba Justica no Paz) akan mengorganisir sebuah kekuatan masa dengan warna perjuangan kolektif (distrito 13) untuk sebuah perubahan. Lantas warga yang dulunya merasa aman dibawah terpal putih tiba – tiba merasa terpalnya (tenda) akan terbakar lagi seperti rumah mereka yang telah dihanguskan dan sedang dibangun kembali oleh pemerintah (Guvernu sei hari uma ne’ebe ahi – han; laos hau mak dehan).
Tentu saja setiap aksi demo memiliki daya tarik tersendiri dan cukup beralasan bahwa Aksi demo merupakan sebuah bukti negara demokratis. Demo dilakukan untuk mengemukakan tuntutan, dan rasa ketidakpuasan terhadap sebuah kekuatan yang menindas kekuatan lain.

Pada dasarnya buat mereka yang dirugikan karena sebuah demonstrasi, biasanya akan mengatakan bahwa demonstrasi itu tidak baik, tidak layak atau bahkan mereka akan mencoba mencari dalil untuk menolak kebolehan berdemonstrasi. Hal itu wajar, karena dengan adanya demonstrasi itu, kepentingannya terusik, kenyamanannya terganggu serta kepentingannya terbentur. namun sebuah demo yang sehat, tertib dan saling menguntungkan maka tak akan ada lagu ruang bagi setiap orang yang menolak .

Sebaliknya, buat kalangan yang diuntungkan dengan adanya demonstrasi, tentu saja mereka mendukung sepenuhnya. Berbagai macam argumen yang mendukung keabsahan sebuah demonstrasi akan dipergunakan. Lucunya, kalangan yang selama ini menudukung demonstrasi, bisa saja tiba-tiba malah menolak demonstrasi. Mengapa? Barangkali keadaan berbalik.
Dahulu mereka aktif berdemosntrasi karena belum punya kekuasaan, dan lain segalanya. justru ada yang alergi dengan demonstrasi. Kontroversi seputar kebolehan berdemonstrasi memang termasuk masalah yang sering diperdebatkan banyak kalangan. Ada yang mendukung kebolehan berdemonstrasi, namun tidak sedikit yang menolak kebolehannya.

Sebaliknya, kalangan yang dahulu alergi dengan demonstrasi, ketika kekuasaannya lenyap direnggut lawan politiknya, sekarang mulai menggunakan sarana demonstrasi untuk kepentingannya. Begini-lah dunia politik, demonstasi adalah salah satu sarana -atau lebih tepat disebut sebagai senjata- dalam melakukan pertarungan di sebuah Negara Demokrasi seperti Timor Leste.
sebagaimana umumnya senjata, kita tidak bisa mengatakan hukumnya haram atau halal, kecuali dengan mempertimbangkan siapa yang menggunakannya, untuk tujuan apa, bagaimana cara menggunakannya, kapan harus dipakai untuk di tembak dan atau pertimbangan lainnya.

Umumnya demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Demonstrasi dapat dijadikan komoditas politik yang berorientasi pada perolehan materi dan kekuasaan, dapat juga berupa sarana demokrasi. demonstrasi adalah merupakan sebuah bentuk teguran terbuka untuk sebuah ketidakadilan (Injustica), kesewenangan (abuzo de poderes) atau upaya melawan demokrasi (politika ditadura).

Tentunya teguran itu harus disampaikan secara tertutup terlebih dahulu, dengan cara yang persuasif, kekeluargaan dan sopan. Barulah bila semua jalan mengalami kebuntuan, demonstrasi turun ke jalan bisa dijadikan alternatif. Hal ini berlaku khususnya bila tema demontrasi itu untuk mengeritik penguasa yang ada kemungkinan berlaku menyimpang.
jika di analisa upaya FNJP (Frente Nasional ba Justica no Paz) untuk mengorganisir sebuah demonstrasi massa seperti apa yang diisukan tentu baru akan memenuhi salah satu hokum demonstrasi apabila negosiasi untuk berdialog yang telah dimulai dengan Pemerintah (Segundo Vice Primeiro Ministro) awal pekan ini tidak dihiraukan atau tidak mendapat solusi yang alternative atau semacam perubahan dalam system yang ditantang FNJP dalam visinya tidak tercapai sebelum batas waktu yang diultimatum.

jika dikaji secara histories, Timor Leste memiliki latar belakang perjuangan yang 75%-NYA diraih dengan People power, kita lihat bagaimana masyarakat Timor Leste menentang kaum penjajah (Indonesia) dengan demonstrasi – demonstrasi sekalipun kekerasan menjadi puncak aksi itu sendiri (Masakre 12 Novembro 1991 dan peristiwa laiinya). jika di tarik kesimpulan dari sejarah demonstrasi Timor Leste kita bisa katerogikan bahwa kita memiliki karakter perjuangan serupa dengan badai topan yang di pernah pantang sebelum sasaran yang dituju betul – betul runtuh dan hancur.

Disisi lain, Rakyat Timor Leste memiliki sebuah mental persatuan (unidade nasional) yang kokoh dalam sejarah perjuangannya menuju kemerdekaan, dan konflik politik militer yang bermula pada april 2006 lalu yang saat ini tenggah menguji mental itu sendiri. kita tidak bisa mengatakan bahwa persatuan warga Timor Leste telah terpecah belah namun system-NYAlah yang terpecah belah karena telah tokoh – tokohnya telah Retak. istilah bahasa mengatakan bahwa banyak jalan menuju roma, jika lewat udara, air dan darat di blokir maka melalui bawah tanahpun jadi. tentu saja consensus menjadi pokok keputusan dalam masalah ini artinya Dialog menuju consensus (laos dialogo ba rekonsiliasaun maibe dialogo atu hetan fila fali sistema foun hodi kontinua rekonsilian ka unidade nasional).

Lantas bentuk dialog semacam apa yang dimaksud?? dan bagaimana peran agama dalam Dialog?? Untuk menjawab pertanyaan ini saya ingin memperkenalkan analisa kritis dari Jürgen Habermas, seorang filsuf sosial Jerman terkemuka dewasa ini. Lewat teori interaksi komunikatifnya ia mengembangkan konsep rasionalitas kehidupan bersama. Menurutnya, dialog rasional merupakan salah satu basis penting guna mewujudkan kehidupan bersama secara damai antar umat manusia dengan asal, iman, bahasa dan budaya yang berbeda-beda.
Bukan bahasa senjata, melainkan senjata bahasa yang dibutuhkan. Dan senjata bahasa itu tidak pernah boleh digunakan untuk mematikan lawan. Dialog tidak boleh menghasilkan kubu yang kalah dan yang menang. Tujuan dialog adalah menjelaskan rasionalitas kehidupan bersama sehingga semua orang bisa setuju atau mencapai sebuah konsensus rasional.

Pergumulan dengan “teori interaksi komunikatif” Habermas menyingkapkan beberapa peluang bagi dialog antar budaya, suku , dan juga ilmu pengetahuan yang menjadi persoalan masyarakat modern. Dialog seperti itu diharapkan tidak menghasilkan keterpinggiran ras dari kehidupan sosial, tapi melahirkan rasa saling menghargai peran dan posisi masing-masing guna membangun sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.

Perhatian Habermas akan pentingnya peran agama dalam sebuah dialog sangat penting. Iman dan Ilmu pengetahuan, agama dan sekularisasi seolah-olah merupakan dua kekuatan yang tidak pernah bertemu dan saling menghilangkan. Hal ini lahir dari pemahaman yang salah tentang sekularisasi. Habermas melihat dua model yang keliru dalam pemahaman tentang sekularisasi. Model pertama ia namakan Verdrängungsmodell. Menurut paradigma ini, agama dalam masyarakat modern akan lenyap dan posisinya akan digantikan oleh ilmu pengetahuan dan ideologi kemajuan masyarakt modern.
Model yang kedua dikenal sebagai Enteignungsmodell.
Menurut Habermas kedua paradigma tentang sekularisasi di atas terlalu sempit dan bertentangan dengan kenyataan sebuah masyarakat “post-sekularisasi”, dimana agama dan ilmu pengetahuan bisa hidup dan berdampingan. Untuk menghubungkan kedua posisi ini, Habermas menganjurkan sebuah posisi menengah yang ia sebut Commonsense yang rasional, demokratis dan semakin kuat. Iman yang terungkap dalam agama telah menerjemahkan dirinya ke dalam bahasa ilmu sekular.
Dengan demikian, iman bersikap terbuka terhadap setiap bentuk analisa kritis-rasional. Tapi itu saja belum cukup. Commonsense sebagai akal sehat yang menempati posisi menengah tidak bisa secara berat sebelah mendukung ilmu pengetahuan dan mengabaikan peran agama. Ia juga harus terbuka terhadap isi agama.
Agar dalam setiap usaha menciptakan konsensus rasional, tidak meminggirkan agama secara tidak fair dari masyaraka umum dan tidak menutup sumber daya atau potensialitas agama bagi masyarakat sekular, maka pihak sekular pun harus tetap mempertahankan cita rasanya bagi daya artikulasi bahasa religius. Dan karena batasan antara argumentasi religius dan ilmu pengetahuan sering kabur, maka dituntut kesediaan dari kedua belah pihak untuk melihat persoalan dari sudut pandang pihak lain. Habermas tidak menghendaki penyingkiran makna religius yang potensial secara sekuler, tapi coba menerjemahkannya ke dalam konsep modern.

Pergumulan dengan “teori interaksi komunikatif” Habermas menyingkapkan beberapa peluang bagi dialog antar budaya, suku , dan juga ilmu pengetahuan yang menjadi persoalan masyarakat modern. Dialog seperti itu diharapkan tidak menghasilkan keterpinggiran ras dari kehidupan sosial, tapi melahirkan rasa saling menghargai peran dan posisi masing-masing guna membangun sebuah masyarakat yang lebih manusiawi, demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia. Semoga analisa ini menjadi referensi baru untuk dialog menuju persatuan atau REKONSILIASAUN FOUN bukannya kita bertanya apakah demonstrasi dibolehkan atau lebih baik mundur diri saja kalau ada Demonstrasi. kalau ini yang terjadi maka Timor Leste bukan lagi REPUBLIK DEMOKRASI melainkan REPUBLIK DEMAM BERDARAH.

No comments: