Monday, February 4, 2008

Detik – Detik Kampanye Presiden RDTL, Desas – Desus Pemimpin Baru!!

(Sosok Gusmao, Horta & Amo Belo Akan Segera Di-kampanyekan)
By; Julio "Gil" da Silva
“Siapa yang paling akhir tertawa , pasti tertawa paling bahagia. Perubahan politik berubah seperti musim di Timor Leste. Jadi kita tidak perlu cepat-cepat tertawa kalau tidak lucu. Terjadinya kerusuhan tidak lain adalah akibat perubahan kekuasan dan politik. Kekuasaan seperti anak kembar yang tidak bisa dipisahkan. Jadi lebih baik kita menanti tanggal tertawanya, sebab yang kalah belum tentu sudah mati” Mutiara Eropa ini tenggah menghiasi warna perjuangan politik para pemimpin negri buaya ini dimana pangung politik semakin rumit untuk terbaca oleh media masa dan rakyat (Povu).
Perhatian masyarakat Timor Lorosa’e dan juga masyarakat internasional kini sedang tertuju ke arena konflik politik yang berbuntut etnis (lorosa’e vs loromonu) yang tingkat konfliknya pasang surut. Namun moment saat ini juga tenggah mengantarkan rakyat Timor Lorosa’e ke masa kampanye untuk pemilihan umum (New General Election) anggota Parlemen Nasional dan Presiden baru RDTL (Republika Demokratika Timor Leste).

Warna – warni kritik dan cemohan antara golongan politik (Guverno no Opozisaun) terus mengisi dan menghiasi Koran harian utama seperti Timor Post dan Suara Timor Lorosa’e (STL) bahkan media internasional laiinya seperti; TEMPO, The Sidney morning herald dan yang laiinya. umumnya konflik dan perang terjadi dimana-mana di seluruh dunia ini bukan hanya di Timor Leste. Bumi yang terkotak-kotak menjadi 192 negara dimana lebih dari 6 milyar manusia hidup didalamnya, penuh dengan konflik.
Konflik antar manusia, antar golongan, antar etnis dan antar negara. Steven D. Strauss dalam bukunya menyatakan bahwa “Dalam setengah abad terakhir, tidak ada dari 192 negara di dunia ini yang tidak pernah terlibat konflik. Setiap negara mengalami konflik baik dalam negeri maupun luar negeri, satu kali atau bahkan Lebih”.

Ada beberapa faktor yang bisa kita analisa sebagai penyebab atau paling tidak bisa memicu terjadinya suatu konflik, misalkan saja karena ambisi untuk menunjukkan eksistensi dan pamer kekuatan (power showing). Kalau Woodrow Wilson mengatakan pada saat perang dunia pertama bahwa perang yang dia lakukan ini bertujuan untuk mengakhiri semua peperangan (war to end all wars). dan George W. Bush mengatakan bahwa perang melawan terorisme adalah perang untuk menghapuskan kejahatan (wipe out evil). maka bagi pemimpin Timor Lorosa’e, konflik etnik Lorosa’e vs Loromonu bisa dinyatakan sebagai upaya menjatuhkan lawan politik (dalan atu sobu knuk no abut politico nian – a way to destroy the roots).

Menyikapi dinamika perkembangan konflik etnis yang semakin meraja lelah di beberapa pelosok di kota Dili saat ini, maka pertanyaan yang lebih pantas dilontarkan adalah bukannya karena siapa penghasut isu lorosa’e – loromonu atau yang memecah belah rakyat? melainkan siapa yang akan lebih pantas untuk menduduki kursi bapak Negara ala presiden Timor Leste untuk periode selangjutnya (2007 – 2012)..?? Apakah Mari Alkatiri, Xanana Gusmao, Ramos Horta, Amo Belo atau Xavier Amaral?? alasan fundamentalnya bahwa konflik etnis yang sedang menuju perpecahan ini sedang menantang politik persatuan nasional (Unidade Nasional) dan rekonsiliasi (Rekonsiliasaun) yang pernah menjadi topik kampanye Xanana Gusmao dalam kampanye-nya pada pemilian umum 14 April 2001 lalu.

Pada dasarnya kekuatan seorang presiden adalah terletak pada rasa nasionalisme yang tinggi, rakyat dan kepala baret (Forca Defeza), jika ketiga – tiganya luntur maka tidak adalah basis kekuatan yang lebih diandalkan lagi selain perpecahan dan ketidakpercayaan, apalagi sistem Negara yang berprinsip semi presidensial. Sekilas teori saja bahwa sekalipun semua warga Negara (Povu) telah kehilangan nasionalisme, namun apabila militer masih memiliki-nya maka kekuatan Negara masih diperhitungkan untuk merampas kembali nasionalisme yang hilang, lain halnya jika panglima tertingi dari Militer sendiri (Forca Defeza) nasionalisme-nya dipertanyakan, maka konflik – konflik etnik seperti di Rwanda dan Korea (Korea do Sul no Norte Korea) akan terjadi dalam sejarah negri matahari terbit ini (Timor Lorosa’e).

Pada prinsipnya, krisis etnis dinegara manapun di dunia, klimaks atau puncak konfliknya selalu diakhiri dengan perpecahan zona kepimpinan atau pembagian wilayah kekuasaan, namun jika ditengok kedalam krisis etnik (Lorosa’e vs Loromonu) yang terjadi di negri ini adalah masih dalam tahap perpecahan, atau dalam istilah laiinya Ujian Persatuan Nasional. jika ujian persatuan nasional ini berakhir dengan perpecahan maka kegagalan utama dalam negara adalah promotor Unidade Nasional, yang mana krisis kepercayaan akan menimpa-nya, dan seluruh bentuk perjuangan-nya tidak akan pernah dihargai atau dinobatkan sebagai Pahlawan (hero) pembebasan yang kharismatik.

Pada prinsipnya perbedaan hanya akan diselesaikan melalui keterbukaan berdialog dan kejujuran menerima kesalahan dan kekalahan, Sejak hari-hari awal proses dekolonisasi di Timor-Leste, ketika perkumpulan perkumpulan politik dibentuk dan muncul perbedaan-perbedaan, ada upaya-upaya untuk menjembatani perbedaan-perbedaan dan telah bekerja bersama untuk kepentingan nasional yang lebih luas.
misalkan sejarah konflik UDT vs Fretilin pada tahun 1975, Ketika anggota-anggota partai-partai politik utama saling menyerang secara lisan melalui siaran radio, sebagian yang lain yang melihat adanya bahaya mengadakan pertemuan untuk merundingkan koalisi yang berumur pendek antara UDT dan Fretilin. Ketika persekutuan ini terancam pecah, ada anggota-anggota dari kedua partai itu yang berusaha keras untuk membuatnya bertahan.

Pada tahun-tahun pendudukan, Perlawanan menjadi gerakan yang inklusif yang mencari cara-cara melibatkan orang Timor-Leste dari semua latar belakang politik dan orang-orang yang tanpa kesetiaan partai, termasuk anggota-anggota Gereja Katolik. Ketika Perlawanan bergeser dari ideologi garis keras pada dasawarsa 1980-an, para pemimpin nasional Timor Leste mengambil strategi Unidade Nasional “persatuan nasional,” gerakan ini merangkul semua pihak yang mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Timor- Leste. Jalan ke perujukan tidaklah lancar – tetapi tekad bersama pada kebebasan dan penentuan nasib sendiri memelihara upaya upaya ini.
Secara kelembagaan, Perlawanan bergeser dari kepemimpinan partai tunggal Fretilin ke Conselho Revolucionário de Resistência Nacional (Dewan Revolusioner Perlawanan Nasional, CRRN), kemudian Conselho Nacional de Resistência Maubere (Dewan Nasional Perlawanan Maubere, CNRM), dan akhirnya Conselho Nacional de Resistência Timorense (Dewan Nasional Perlawanan Bangsa Timor, CNRT) – yang setiap pergeseran menandai perluasan yang semakin besar gerakan untuk merangkul semua orang Timor-Leste yang bertekad sama.
Generasi baru dasawarsa 1980-an dan 1990-an semakin mengadopsi perspektif yang nasionalis non-partisan mengenai perjuangan. Lebih jauh, Perlawanan belajar tentang kekuatan Dialog damai sebagai satu sarana menciptakan pemahaman bersama dan membangun kepercayaan.

Pada 1983 Gerakan Perlawanan memperkenalkan rencana damainya yang pertama dan pada awal tahun 1990-an juga CNRM menyebarluaskan satu rencana perdamaian yang mengusulkan Dialog Tanpa Syarat untuk mencari penyelesaian konflik. Pada pertengahan dasawarsa 1990-an, di bawah naungan PBB (Nasoens Unidas), orang Timor-Leste dari latar belakang pro-kemerdekaan dan pro-integrasi berkumpul untuk melakukan serangkaian pertemuan yang disebut All-Inclusive Intra-East Timorese Dialogue (Dialog Antar Orang Timor-Leste Mencakup Semua).
Ketika perubahan benar-benar terlihat mungkin di Timor-Leste pada tahun 1998, tetapi terancam oleh kekerasan, para Uskup Katolik di Timor-Leste mempertemukan para pemimpin pro-kemerdekaan dan pro-integrasi dalam suatu pertemuan yang dikenal sebagai Dare I. Pertemuan kedua, disebut Dare II, diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1999, ketika kekerasan menghadapkan Konsultasi Rakyat pada risiko. Bisa dikatakan bahwa kekerasan April - November 2006 (konflitu etniko) tenggah menantang kembali inisiatif-inisiatif tersebut.
Tetapi, ini tidak memahami maknanya yang sejati, yaitu bahwa selama 25 tahun ada orang-orang Timor-Leste yang berjuang untuk menemukan penyelesaian damai untuk mengatasi perpecahan, dan bahwa pada akhirnya, melalui Konsultasi rakyat pada bulan Agustus 1999, mayoritas sangat besar rakyat mendukung pendekatan ini. Kita perlu belajar dari sejarah semacam ini agar tetap mempertahankan Persatuan Nasional yang tengah diuji.

Kendati demikian Dialog untuk mempertahankan suatu persatuan nasional juga tidsak terlepas dari proses Rekonsiliasi. sebab Rekonsiliasi adalah sebuah proses, yang mengakui kesalahan masa lalu termasuk penyesalan dan pemberian maaf, sebagai hasil dari sebuah jalan yang tidak terpisahkan dari proses pencapaian keadilan; rekonsiliasi yang dimaksud adalah REKONSILIASI ELIT sehingga lingkaran saling tuduh menuduh bisa diputuskan (laos guverno simu malu, povu tuda malu), Proses ini tidak bisa dipandang hanya sebagai sebuah upaya penyelesaian konflik, atau sekedar alat politik yang bermaksud untuk menenangkan dan mengintegrasikan kembali individu-individu atau kelompok-kelompok dalam konteks penerimaan mereka terhadap kedaulatan Timor-Leste, namun, yang utama adalah sebagai sebuah proses dimana kebenaran harus menjadi titik akhir.

Rekonsiliasi adalah konsep yang begitu padat. Arti “Rekonsiliasi” tidak semurah dengan berjabat tangan atau memaafkan segala kesalahan setelah orang bertengkar atau berkelahi. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai pencapaian kesepakatan antara pihak korban dan pihak pelaku untuk menyelesaikan konflik, untuk membuat damai, untuk memulihkan hubungan, untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, serentak memberikan ganti rugi atau pemulihan lainnya. Gambaran itu sederhana saja tetapi akan menjadi rumit saat diterjemahkan dalam mekanisme hukum dan ditempatkan dalam konteks politik Timor Leste dewasa ini.
Pemulihan itu menyangkut hubungan antar orang/ pribadi, struktur sosial, dan struktur politik. Dapat diringkaskan dengan perkataan “forgive but don’t forget” (Perdua maibe labele haluha). dan semoga saja Dialog nasional yang akan segera diorganisir oleh kantor kepresidenan (Gabinete Presidente RDTL) dibawah pimpinan Senhora Mikato Alves yang akan terlaksana pada pertengahan novemver 2006 ini dan juga dengan kehadiran Clube Madeira bisa menjawab tuntutan Persatuan Nasional masyarakat Timor Leste.

Jika memang konflik etnik Lorosa’e vs Loromonu yang terjadi adalah sebagai upaya untuk menjatuhkan lawan politik (dalan atu sobu knuk no abut politico nian – a way to destroy the roots). maka tentunya semua mata dan perhatian akan tertuju pada nama – nama pemimpin baru Ala Presiden baru RDTL yang segera memasuki tahap kampanye. tidaklah baru dan tidaklah TABU bagi warga Timor Leste untuk menyebut sosok seperti Xanana Gusmao untuk tetap mempertahankan tanduk kepresidenan atau Ramos Horta untuk melangjutkan kursi penting ini.
sebab semua asumsi mulai tertuju kepada Horta adalah pemimpin yang cukup diplomatic dan bahkan dimata masyarakat Timor Leste dirinya sendiri acap kali melakukan pengakuan berkali – kali di mata public bahwa Hau Bele Beikten Maibe Lafahe KILAT!! sekalipun ada pihak yang berasumsi bahwa itu merupakan sebuah Sindiran. selain itu pengakuan laiinya misalnya kutipan pidato Horta, pada upacara pelantikannya sebagai Perdana Mentri ke – 2 Timor Leste di Palacio da Cinsas, Juli 2006 lalu bahwa “2012 mak hau husu ba maluk sira iha atauro atu tula hela hau ba Manhattan hodi compete ba kadeira sekretario jeral ONU nian” artinya ia masih bersedia untuk bersama dengan rakyat negri ini sampai periode 2012.

Ditengah dilema kampanye presiden yang akan segera dilakukan, nama lain yang juga akan segera muncul adalah Amo Belo, yang merupakan salah satu Pemimpin Religius paling Kharismatik. Kendati Amu Belo saat ini tengah menjalani misi keagamaan di Mozambik (Misionaris), namun beberapa kelompok telah mengungulkan nama ini sebagai penganti Presiden RDTL, andai saja Xanana Gusmao betul – betul tak ingin lagi mencalonkan diri seperti pidatonya di Australia beberapa waktu lalu. dan hal yang paling memungkinkan bagi Amu Belo untuk kembali ke Timor Leste adalah pertemuan Horta – Paus Benediktus XVI di Roma, Italia pada 27 Oktober 2006 lalu yang tentunya Horta dalam maksud terselubungnya telah meloby PAPA BENTO agar segera melepaskan kembali Amu Belo ke tanah air untuk misi perdamaian dalam negri sekaligus untuk kursi kepresidenan. Semoga ini bukan asumsi. Anything is possible if you just believed. sampai jumpa di Artikel berikut-nya. Selamat Berpikir Merdeka.

No comments: